Powered By Blogger

Selasa, 12 November 2013

Surat R.A Kartini, 27 Oktober 1902
Kepada Nyonya Abendanon sebagaimana dimuat dlm buku Door Duisternis to Licht. Ejaan disesuaikan tanpa mengubah arti:

"Saya adalah anak Buddha, oleh karena itulah saya kini tidak makan makanan bernyawa.

Ketika saya masih anak-anak, saya sakit keras, dokter-dokter tidak bisa menolong, mereka putus asa.

Waktu itu, seorang Tionghoa (seorang hukuman yang dengannya kita waktu masih kecil bersahabat baik) menawarkan diri untuk membantu saya. Orang tua saya pun menurut dan akhirnya saya sembuh.

Apa yang obat-obatan dari orang-orang terpelajar tidak mampu, justru obat tahayul yang menolong. Ia menolong saya dengan cuma-cuma, saya disuruh minum abu dari dupa yang dibakar sebagai sembah bakti pada satu Tepekong Tionghoa. Lantaran minum obat itulah saja jadi anaknya Orang Suci itu, Santikkong Welahan (maksudnya Sian Tee Kong).

Kira-kira setahun yang lalu saya mengunjungi Orang Suci itu. Ia hanyalah satu Patung Emas berukuran kecil dan siang malam diliputi asap hio.

Bilamana berjangkit wabah penyakit hebat, patung kecil ini digotong-gotong kesana-sini dengan upacara untuk mengusir pengaruh jahat dari iblis-iblis."

Apa yang tersirat dalam surat Kartini tersebut mematahkan pandangan yang hampir dianggap kebenaran oleh kelompok2 tertentu, bahwa orang-orang "Klentengan" terpaksa memilih agama Buddha pada masa awal Orde Baru.

Terbukti R.A Kartini yang mendapat kesembuhan di Klenteng, menyebut dirinya anak Buddha. Kenapa? Karena memang orang-orang Tionghoa di Tiongkok maupun di perantauan pada umumnya masih memegang kepercayaan tradisi/agama klasik/pai-shen/shen-isme (pemujaan terhadap arwah).

Shen-isme banyak bercampur dengan Daoisme & agama Buddha, sehingga orang-orang yg sembahyang di klenteng pada umumnya menyebut dirinya beragama Buddha, di Tiongkok dan di perantauan.

Klenteng adalah tempat pemujaan Shen-isme dewa-dewi klasik, Tao, Buddhis bahkan dewa lokal (Jawa Bali Dayak dll).

Mari Luruskan Sejarah
Eddy Setiawan 27F794D9

Kamis, 19 September 2013

Sejarah Kue Bulan / 月餅 yuèbǐng

Kue bulan (Hanzi: 月餅, pinyin: yuèbǐng) adalah penganan tradisional Masyarakat Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan Festival Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan biasanya dikenal dalam Bahasa Hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia. Sedangkan dalam bahasa Hakka / Khek- nya, yaitu " Nyekh Ppyang " .
Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.

Kue bulan bermula dari penganan sesajian pada persembahan dan penghormatan pada leluhur di musim gugur, yang biasanya merupakan masa panen yang dianggap penting dalam kebudayaan Tionghoa yang berbasis agrikultural.
Perkembangan zaman menjadikan kue bulan berevolusi dari sesajian khusus pertengahan musim gugur kepada penganan dan hadiah namun tetap terkait pada perayaan festival musim gugur tadi.
Beberapa legenda mengemukakan bahwa kue bulan berasal dari Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song. Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri.

 Pada jaman dinasti Yuan (1280~1368 SM.) Tiongkok dikuasai oleh orang-orang Mongol. Pemimpin-pemimpin dari dinasti sebelumnya, yaitu dinasti Sung (960~1280 SM.) tidak senang tunduk pada pemerintahan asing, kemudian menentukan suatu cara untuk mengkoordinir suatu pemberontakan tanpa diketahui. Pemimpin-pemimpin pemberontak mengetahui bahwa Perayaan Bulan sudah dekat, dan memerintahkan untuk membuat kue khusus. Ke dalam setiap kue bulan dimasukkan sebuah pesan tentang suatu rencana penyerangan. Pada malam Perayaan Bulan, para pemberontak berhasil menyerang dan menggulingkan pemerintah. Selanjutnya adalah berdirinya dinasti Ming (1368~1644 SM.).

 Moon Cake / Kue Bulan / Tiong Ciu Pia
Tradisi Makan Kue Bulan
Kue bulan yang bundar adalah sebuah makanan tradisional yang dimakan selama Festival Pertengahan Musim Gugur sebagai peringatan akan keutuhan keluarga.

Festival Pertengahan Musim Gugur (Zhong Qiu Jie)
Setiap tanggal 15 bulan 8 kalendar Lunar, orang Tionghoa di seluruh dunia memperingati Festival Pertengahan Musim Gugur (Zhong Qiu Jie). Pada hari istimewa ini, orang-orang Tionghoa bersembahyang di rumah-rumah ibadah dan melakukan acara keluarga di rumah. Setelah malam tiba, seluruh keluarga menikmati piknik di taman-taman umum. Menurut legenda rakyat, tanggal 15 bulan 8 kalendar Lunar juga merupakan ulang tahun dari Dewa Bumi, atau Tu Di Gung. Sehingga perayaan ini melambangkan akhir kerja keras selama setahun di ladang. Keluarga-keluarga petani menunjukkan rasa terima kasih mereka pada Dewa Bumi, begitu pula pada Tuhan, yang dilambangkan oleh bulan, untuk berkahnya selama setahun.